Negeri Junjungan Melayu di Bumi Lancang Kuning
Adat Melayu menganggap Bengkalis sebagai Negeri Junjungan. Bak negeri dongeng, di sana sumber minyak ditimba tak pernah kering sejak zaman Hang Tuah melayari persimpangan laut paling sibuk di dunia; Selat Malaka.
Kini saat zaman berganti, mengubah perahu kuno menjadi speed boat bahkan cruise namun, Bengkalis tetap Negeri Junjungan yang menyejahterakan urang Melayu dengan kekayaannya.
Di sana ada Duri, ladang minyak di Kecamatan Mandau, di Negeri Junjungan di mana hilir mudik saudagar sudah terjadi sejak Raja Kecil merintis cikal bakal kerajaan Siak di wilayah itu.
Negeri Junjungan yang subur lantaran berada tepat di Muara Sungai Siak itu kini menjadi sumber minyak terbesar di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau.
Salah satu perusahaan yang sudah mengeksplorasi minyak bumi di wilayah itu PT Chevron Pasifik Indonesia bahkan telah mengangkat kekayaan Duri mencapai lebih dari dua miliar barel minyak sejak dasawarsa 1950-an hingga kini.
Perusahaan migas multinasional itu menggali 10.000 sumur eksplorasi di Duri milik Negeri Junjungan yang bisa berproduksi hingga 350.000 barel minyak perhari.
Sawit
Sawit adalah cerita lain yang menjadikan negeri itu kaya raya laksana menjadikan orang Bengkalis bertudung minyak di atas dan menginjak minyak di bawah. Sementara ikan di lautnya adalah potensi kemakmuran yang lain.
Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh, mengatakan, wilayahnya tidak cuma kaya sumber daya alam namun sekaligus juga pintu gerbang masuknya wisatawan lantaran letaknya yang strategis.
"Kabupaten Bengkalis mempunyai letak yang sangat strategis, karena dilalui oleh jalur perkapalan internasional menuju ke Selat Malaka. Bengkalis juga termasuk dalam salah satu program Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT)," katanya.
Namun toh wisatawan dijaminnya tak bakal kecewa ketika mendaratkan kaki di negeri junjungan adat Melayu itu lantaran Bengkalis menawarkan banyak hal untuk pelancongan.
Berplesir di Pantai Pasir Panjang di Pulau Rupat dengan mengendarai boat kecil yang dinamai pompong jelas akan menorehkan pengalaman pribadi yang tak mungkin terlupakan karena keindahan tropika Tanjung Medang, Tanjung Rhu, dan Tanjung Punak.
Suku Akit di pedalaman Rupat yang menganggap tamu adalah junjungan tertinggi telah menanti dengan segudang atraksi seni dan budaya yang mencengangkan.
Di sanalah kelak akan dibangun jembatan sepanjang 50 km untuk menghubungkan Indonesia dengan Malaka di Malaysia.
Jika beranjak ke pantai timur, Bengkalis punya Pantai Selat Baru yang memiliki bibir melebar ke arah laut hingga 100 m pada saat air surut. Tidak jauh dari bibir pantai, mengalir Sungai Liong tempat pengembangbiakkan telur ikan Kakap Putih.
Tepat di muara sungai itu kini berdiri sebuah Pelabuhan Laut Bandar Sri Setia Raja yang dilayari rute internasional, salah satunya Bengkalis - Muar, Malaysia.
Laut dan pantai hanya satu dari sekian banyak potensi wisata, sementara di sana ada Hutan Lindung dan Kawasan Konversi Margasatwa di daerah Bukit Batu dan kecamatan Mandau yang berjarak 40 km dari kota Pekanbaru.
Di tempat itu beberapa gajah dilatih untuk melakukan berbagai atraksi dan menjadi bagian dari Tahura (Taman Hutan Raya) Sultan Syarif Hasyim.
Sementara itu di pusat kota Bengkalis, jejak peradaban Melayu adalah pesona lain. Di sana, bangunan saksi sejarah masih berdiri kokoh meski telah ratusan tahun ditinggalkan zamannya bahkan jauh dari sejak Belanda mampir.
Wisata Budaya
Adat Bengkalis adalah titisan imperium Melayu Riau sebagai penyambung warisan Kerajaan Sriwijaya pada tahun 517 sampai 683.
Di sana adat Melayu yang bercirikan Islam berkembang paling pesat di antara negeri lain di Semenanjung Malaya.
Jadi, tidak ada yang mengherankan saat adat Melayu diwariskan secara turun-temurun berawal dari rumah adat Selaso Jatuh Kembar.
Bengkalis memang terlampau kecil untuk merangkum peradaban Melayu yang meluas hingga pesisir timur Sumatera, namun jejak peradabannya masih banyak yang tersimpan di wilayah negeri junjungan.
Istana Siak adalah contoh, meski secara administratif tidak terletak di Kabupaten Bengkalis, istana bercorak Melayu Islam itu menjadi bukti jejak peradaban Melayu di wilayah itu.
Wisatawan budaya akan menemukan banyak hal di istana Sultan Sri Indrapura itu mulai dari kursi singgasana kerajaan yang berbalut emas, duplikat mahkota kerajaan, brankas, payung, tombak, komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua di dunia, serta barang-barang lain-lainnya.
Di sana ada pula Benteng Tujuh Lapis di Kabupaten Rokan Hulu yang menjadi saksi bisu terjadinya Perang Paderi atas petuah Tuanku Tambusai pada 1839.
Meski adat Melayu menjadi junjungan, toleransi adalah milik mereka sejak zaman dahulu. Jauh di kabupaten tetangga Bengkalis, Kampar, ada Candi Muara Takus, 135 km dari pusat kota Pekanbaru yang menjadi satu-satunya prasasti berbentuk candi bercorak Budha di Riau.
Kelenteng Hoo Ann Kiong di Selatpanjang adalah kelenteng tertua di Riau menjadi bukti lain adanya toleransi beragama yang kental.
Sedangkan dari sisi kuliner, Riau terkenal dengan masakan khas Melayu di antaranya Gulai Asam Pedas Ikan Patin, Gulai Ikan Baung, Kuabu Paku, Patchry Nenas, dan Laksamana Mengamuk.
Peradaban Melayu
Bukti dan fakta sejarah itu kemudian mengantarkan Riau secara umum untuk merasa pantas menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban Melayu di kawasan Asia Tenggara.
"Riau berhajat menjadi pusat pertumbuhan perekonomian dan kebudayaan Melayu di kawasan Asia Tenggara dan diharapkan terwujud paling lambat pada 2020," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Said Syarifuddin.
Ia mengatakan, tekad itu didukung berbagai fakta kesejarahan di antaranya di kawasan itu sampai sekarang hidup sejumlah suku asli (Sakai, Bonai, Akit, Hutan, Petalangan, Talang Mamak, dan Duano), dan masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo baleh koto di Kampar, dan lain-lain.
Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno di kawasan itu mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha.
Pihaknya menyatakan sedang terus melakukan penggalian, pengembangan, dan pengenalan seluruh potensi budaya dan pariwisata yang terkandung dalam "rahim" Riau kepada seluruh lapisan masyarakat.
"Kami sedang terus menginventarisasikan karya budaya dari masing-masing kabupaten- kota dan kami meminta mereka untuk mengembangkan dan melestarikannya di tempat asal budaya tersebut," katanya.
Pegiat Kebudayaan Riau, Elmustian Rahman, mengatakan, posisi Riau di masa depan meniscayakan Riau pada 2020 dalam bidang seni budaya menjadi pusat pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas, serta acara-acara pembentangan dan penyebarluasan produk-produk seni budaya Melayu dengan rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara).
"Riau sebagai pusat aktivitas seni budaya Melayu adalah bahwa Riau merupakan tempat pemeliharaan berkesinambungan, sekaligus aktivitas produksi seni budaya Melayu, baik seni budaya Melayu warisan maupun seni budaya modern," katanya.
Sayangnya potensi yang besar di Negeri Junjungan sekaligus Bumi Lancang Kuning yang lebih luas, masih terhambat berbagai kendala.
Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), M. Faried, mengatakan, keterbatasan infrastrktur, kesadaran masyarakat dalam hal pariwisata, hingga integrasi pemangku kepentingan di Provinsi Riau masih perlu ditingkatkan untuk mendorong sektor pariwisata di wilayah itu semakin maju.
"Kendala infrastruktur dan sumber daya manusia masih membayangi kinerja pariwisata Riau," katanya.
Padahal, kata Faried, provinsi itu merupakan salah satu kontributor jumlah wisatawan mancanegara terbesar karena letaknya yang strategis.
Ia berharap semua pihak di Bumi Lancang Kuning termasuk seluruh masyarakat di Tanah Air mendukung terwujudnya Riau sebagai salah satu pintu gerbang pariwisata nasional sekaligus pusat peradaban Melayu di kawasan Asia Tenggara.
sumber.
Tari Persembahan Daulat Negeri Kebangkitan Melayu .
Adat Melayu menganggap Bengkalis sebagai Negeri Junjungan. Bak negeri dongeng, di sana sumber minyak ditimba tak pernah kering sejak zaman Hang Tuah melayari persimpangan laut paling sibuk di dunia; Selat Malaka.
Kini saat zaman berganti, mengubah perahu kuno menjadi speed boat bahkan cruise namun, Bengkalis tetap Negeri Junjungan yang menyejahterakan urang Melayu dengan kekayaannya.
Di sana ada Duri, ladang minyak di Kecamatan Mandau, di Negeri Junjungan di mana hilir mudik saudagar sudah terjadi sejak Raja Kecil merintis cikal bakal kerajaan Siak di wilayah itu.
Negeri Junjungan yang subur lantaran berada tepat di Muara Sungai Siak itu kini menjadi sumber minyak terbesar di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau.
Salah satu perusahaan yang sudah mengeksplorasi minyak bumi di wilayah itu PT Chevron Pasifik Indonesia bahkan telah mengangkat kekayaan Duri mencapai lebih dari dua miliar barel minyak sejak dasawarsa 1950-an hingga kini.
Perusahaan migas multinasional itu menggali 10.000 sumur eksplorasi di Duri milik Negeri Junjungan yang bisa berproduksi hingga 350.000 barel minyak perhari.
Riau Bumi Melayu Negeri Lancang Kuning
Sawit
Sawit adalah cerita lain yang menjadikan negeri itu kaya raya laksana menjadikan orang Bengkalis bertudung minyak di atas dan menginjak minyak di bawah. Sementara ikan di lautnya adalah potensi kemakmuran yang lain.
Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh, mengatakan, wilayahnya tidak cuma kaya sumber daya alam namun sekaligus juga pintu gerbang masuknya wisatawan lantaran letaknya yang strategis.
"Kabupaten Bengkalis mempunyai letak yang sangat strategis, karena dilalui oleh jalur perkapalan internasional menuju ke Selat Malaka. Bengkalis juga termasuk dalam salah satu program Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT)," katanya.
Namun toh wisatawan dijaminnya tak bakal kecewa ketika mendaratkan kaki di negeri junjungan adat Melayu itu lantaran Bengkalis menawarkan banyak hal untuk pelancongan.
Berplesir di Pantai Pasir Panjang di Pulau Rupat dengan mengendarai boat kecil yang dinamai pompong jelas akan menorehkan pengalaman pribadi yang tak mungkin terlupakan karena keindahan tropika Tanjung Medang, Tanjung Rhu, dan Tanjung Punak.
Suku Akit di pedalaman Rupat yang menganggap tamu adalah junjungan tertinggi telah menanti dengan segudang atraksi seni dan budaya yang mencengangkan.
Di sanalah kelak akan dibangun jembatan sepanjang 50 km untuk menghubungkan Indonesia dengan Malaka di Malaysia.
Jika beranjak ke pantai timur, Bengkalis punya Pantai Selat Baru yang memiliki bibir melebar ke arah laut hingga 100 m pada saat air surut. Tidak jauh dari bibir pantai, mengalir Sungai Liong tempat pengembangbiakkan telur ikan Kakap Putih.
Tepat di muara sungai itu kini berdiri sebuah Pelabuhan Laut Bandar Sri Setia Raja yang dilayari rute internasional, salah satunya Bengkalis - Muar, Malaysia.
Laut dan pantai hanya satu dari sekian banyak potensi wisata, sementara di sana ada Hutan Lindung dan Kawasan Konversi Margasatwa di daerah Bukit Batu dan kecamatan Mandau yang berjarak 40 km dari kota Pekanbaru.
Di tempat itu beberapa gajah dilatih untuk melakukan berbagai atraksi dan menjadi bagian dari Tahura (Taman Hutan Raya) Sultan Syarif Hasyim.
Sementara itu di pusat kota Bengkalis, jejak peradaban Melayu adalah pesona lain. Di sana, bangunan saksi sejarah masih berdiri kokoh meski telah ratusan tahun ditinggalkan zamannya bahkan jauh dari sejak Belanda mampir.
Wisata Budaya
Adat Bengkalis adalah titisan imperium Melayu Riau sebagai penyambung warisan Kerajaan Sriwijaya pada tahun 517 sampai 683.
Di sana adat Melayu yang bercirikan Islam berkembang paling pesat di antara negeri lain di Semenanjung Malaya.
Jadi, tidak ada yang mengherankan saat adat Melayu diwariskan secara turun-temurun berawal dari rumah adat Selaso Jatuh Kembar.
Bengkalis memang terlampau kecil untuk merangkum peradaban Melayu yang meluas hingga pesisir timur Sumatera, namun jejak peradabannya masih banyak yang tersimpan di wilayah negeri junjungan.
Istana Siak adalah contoh, meski secara administratif tidak terletak di Kabupaten Bengkalis, istana bercorak Melayu Islam itu menjadi bukti jejak peradaban Melayu di wilayah itu.
Wisatawan budaya akan menemukan banyak hal di istana Sultan Sri Indrapura itu mulai dari kursi singgasana kerajaan yang berbalut emas, duplikat mahkota kerajaan, brankas, payung, tombak, komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua di dunia, serta barang-barang lain-lainnya.
Di sana ada pula Benteng Tujuh Lapis di Kabupaten Rokan Hulu yang menjadi saksi bisu terjadinya Perang Paderi atas petuah Tuanku Tambusai pada 1839.
Meski adat Melayu menjadi junjungan, toleransi adalah milik mereka sejak zaman dahulu. Jauh di kabupaten tetangga Bengkalis, Kampar, ada Candi Muara Takus, 135 km dari pusat kota Pekanbaru yang menjadi satu-satunya prasasti berbentuk candi bercorak Budha di Riau.
Kelenteng Hoo Ann Kiong di Selatpanjang adalah kelenteng tertua di Riau menjadi bukti lain adanya toleransi beragama yang kental.
Sedangkan dari sisi kuliner, Riau terkenal dengan masakan khas Melayu di antaranya Gulai Asam Pedas Ikan Patin, Gulai Ikan Baung, Kuabu Paku, Patchry Nenas, dan Laksamana Mengamuk.
Peradaban Melayu
Bukti dan fakta sejarah itu kemudian mengantarkan Riau secara umum untuk merasa pantas menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban Melayu di kawasan Asia Tenggara.
"Riau berhajat menjadi pusat pertumbuhan perekonomian dan kebudayaan Melayu di kawasan Asia Tenggara dan diharapkan terwujud paling lambat pada 2020," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Said Syarifuddin.
Ia mengatakan, tekad itu didukung berbagai fakta kesejarahan di antaranya di kawasan itu sampai sekarang hidup sejumlah suku asli (Sakai, Bonai, Akit, Hutan, Petalangan, Talang Mamak, dan Duano), dan masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo baleh koto di Kampar, dan lain-lain.
Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno di kawasan itu mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha.
Pihaknya menyatakan sedang terus melakukan penggalian, pengembangan, dan pengenalan seluruh potensi budaya dan pariwisata yang terkandung dalam "rahim" Riau kepada seluruh lapisan masyarakat.
"Kami sedang terus menginventarisasikan karya budaya dari masing-masing kabupaten- kota dan kami meminta mereka untuk mengembangkan dan melestarikannya di tempat asal budaya tersebut," katanya.
Pegiat Kebudayaan Riau, Elmustian Rahman, mengatakan, posisi Riau di masa depan meniscayakan Riau pada 2020 dalam bidang seni budaya menjadi pusat pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas, serta acara-acara pembentangan dan penyebarluasan produk-produk seni budaya Melayu dengan rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara).
"Riau sebagai pusat aktivitas seni budaya Melayu adalah bahwa Riau merupakan tempat pemeliharaan berkesinambungan, sekaligus aktivitas produksi seni budaya Melayu, baik seni budaya Melayu warisan maupun seni budaya modern," katanya.
Sayangnya potensi yang besar di Negeri Junjungan sekaligus Bumi Lancang Kuning yang lebih luas, masih terhambat berbagai kendala.
Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), M. Faried, mengatakan, keterbatasan infrastrktur, kesadaran masyarakat dalam hal pariwisata, hingga integrasi pemangku kepentingan di Provinsi Riau masih perlu ditingkatkan untuk mendorong sektor pariwisata di wilayah itu semakin maju.
"Kendala infrastruktur dan sumber daya manusia masih membayangi kinerja pariwisata Riau," katanya.
Padahal, kata Faried, provinsi itu merupakan salah satu kontributor jumlah wisatawan mancanegara terbesar karena letaknya yang strategis.
Ia berharap semua pihak di Bumi Lancang Kuning termasuk seluruh masyarakat di Tanah Air mendukung terwujudnya Riau sebagai salah satu pintu gerbang pariwisata nasional sekaligus pusat peradaban Melayu di kawasan Asia Tenggara.
sumber.